Kusta (lepra atau morbus Hansen) adalah
penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M.
Ieprae).
Etiologi
Epidemiologi
Patogenesis
Manifestasi Klinis
Klasifikasi
Pemeriksaan Klinis
M. leprae merupakan basil tahan asam (BTA), bersifat
obligat intraselular, menyerang saraf perifer, kulit, dan organ lain seperti
mukosa saluran napas bagian atas, hati, dan sumsum tulang kecuali susunan saraf
pusat. Masa membelah diri M. leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara
40 hari - 40 tahun.
Cara penularan yang pasti belum diketahui,
tetapi menurut sebagian besar ahli melalui saluran pernapasan (inhalasi) dan
kulit (kontak langsung yang lama dan erat). Kuman mencapai permukaan kulit
melalui folikel rambut, kelenjar keringat, dan didugajuga melalui air susu ibu.
Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi
pertama.
Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak
mudah sehingga tidak perlu ditakuti. Hal ini bergantung pada beberapa faktor,
antara lain sumber penularan, kuman kusta, daya tahan tubuh, sosial ekonomi, dan
iklim.
Sumber penularan adalah kuman kusta utuh
(solid) yang berasal dari pasien kusta tipe MB (Multi Basiler) yang belum
diobati atau tidak teratur berobat.
Bila seseorang
terinfeksi M. leprae, sebagian besar (95%) akan sembuh sendiri dan 5%
akan menjadi menjadi indeterminate. Dari 5% indeterminate, 30%
bermanifestasi klinis menjadi determinate dan 70% sembuh.
Insidens tinggi pada daerah tropis dan subtropis yang panas
dan lembab. Insidens penyakit kusta di Indonesia pada Maret 1999 sebesar 1,01
per 10.000 penduduk.
Kusta dapat menyerang semua umur, anak-anak
lebih rentan daripada orang dewasa. Frekuensi tertinggi pada kelompok dewasa
ialah umur 25-35 tahun, sedangkan pada kelompok anak umur 10-12
tahun.
Setelah M leprae masuk ke dalam tubuh,
perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respons tubuh
setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas selular
(cellular mediated immune) pasien. Kalau sistem imunitas selular tinggi,
penyakit berkembang ke arah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang ke arah
lepromatosa. M leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih
dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang
sedikit.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan
derajat infeksi karena respons imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis
lebih sebanding dengan tingkatreaksi selular daripada intensitas infeksi. Oleh
karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit
imunologik.
Diagnosis didasarkan pada gambaran klinis,
bakterioskopis, dan histopatologis. Menurut WHO (1995). diagnosis kusta
ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinal berikut:
1. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan
sensibilitas.
Lesi kulit dapat tunggal atau multipel,
biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna
tembaga. Lesi dapat bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul, atau
nodul.
Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit
merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi,bermanifestasi
sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot. Penebalan saraf tepi
saja tanpa disertai kehilangan sensibilitas dan/atau kelemahan otot juga
merupakan tanda kusta.
2. BTA positif.
Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam
dari kerokan jaringan kulit.
Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus
dicurigai dan diperiksa ulang setiap 3 bulan sampai ditegakkan diagnosis kusta
atau penyakit lain.
Klasifikasi berdasarkan Ridley dan Jopling
adalah tipe TT (tuberkuloid), BT (borderline tuberculoid), BB (mid
borderline), BL (borderline lepromatous), dan LL (lepromatosa),
sedangkan Departemen Kesehatan Ditjen P2MPLP ( 1999) dan WHO ( 1995) membagi
tipe menjadi tipe Pause Basiler (PB) dan Multi Basiler (MB).
a. Inspeksi. Pasien diminta memejamkan mata,
menggerakkan mulut, bersiul, dan tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah.
Semua kelainan kulit di seluruh tubuh diperhatikan, seperti adanya makula,
nodul, jaringan parut, kulit yang keriput, penebalan kulit, dan kehilangan
rambut tubuh (alopesia dan madarosis).
b.
Pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dengan menggunakan kapas
(rasa raba), jarum pentul yang tajam dan tumpul (rasa nyeri), serta air panas
dan dingin dalam tabung reaksi (rasa suhu).
c. Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan
pada: n. auricularis magnus, n. ulnaris, n. radialis, n. medianus, n. peroneus,
dan n. tibialis posterior. Hasil pemeriksaan yang perlu dicatat adalah
pembesaran, konsistensi, penebalan, dan adanya nyeri tekan. Perhatikan raut muka
pasien apakah ia kesakitan atau tidak saat saraf diraba.
d. Pemeriksaan fungsi saraf otonom, yaitu
memeriksa ada tidaknya kekeringan pada lesi akibat tidak berfungsinya kelenjar
keringat dengan menggunakan pensil tinta (uji Gunawan).
Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai
berikut:
1. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang
paling aktif.
2. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan
kosmetik, kecuali tidak ditemukan lesi di tempat lain.
3. Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit
yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru
timbul.
4. Lokasi pengambilan sediaan apus untuk
pemeriksaan M. leprae ialah:
a. Cuping telinga kiri/kanan.
b. Dua sampai empat lesi kulit yang aktif di
tempat lain.
5. Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya
dihindari karena:
a. Tidak menyenangkan pasien.
b. Positif palsu karena ada mikobakterium lain.
c. Tidak pernah ditemukan M. leprae pada selaput
lendir hidung apabila sediaan apus kulit negatif.
d. Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis
selaput lendir hidung lebih dahulu negatif daripada sediaan kulit di tempat
lain.
6. Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
a. Semua orang yang dicurigai menderita kusta.
b. Semua pasien baru yang didiagnosis secara
klinis sebagai pasien kusta.
c. Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps)
atau karena tersangka kuman resisten terhadap obat.
d. Semua pasien MB setiap satu tahun sekali.
7. Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan
pewarnaan tahan asam, yaitu Ziehl Neelsen atau Kinyoun-Gabett.
8. Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop
ada 3 metode, yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah/seperempat lingkaran
(lihat gambar 2). Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh
(solid), pecah-pecah (fragmented), granular (granulates), globus,
dan clumps seperti ditunjukkan pada gambar 3:
Indeks Bakteri (IB)
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA
dalarn sediaan hapus. IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi
hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma Ridley sebagai
berikut:
0 Bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan
pandang
+1 Bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan
pandang
+2 Bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan
pandang
+3 Bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan
pandang
+4 Bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan
pandang
+5 Bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1
lapangan pandang
+6 Bila > 1000 BTA dalam rata-rata 1
lapangan pandang
Indeks morfologi
(IM)
Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap
seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi
hasil pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap
obat.
Penatalaksanaan
Tujuan utama program pemberantasan kusta
adalah menyembuhkan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan
mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang
lain untuk menurunkan insidens penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan
kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini
bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi
ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi
kuman kusta dalamjaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai
rekomendasi WHO ( 1995) sebagai berikut:
Tipe PB
Jenis obat dan dosis untuk orang
dewasa:
1. Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan
petugas.
2. DDS tablet 100 mg/hari diminum di
rumah.
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9
bulan. dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From
Treatment = berhenti minum obat kusta) meskipun secara klinis lesinya masih
aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah
Completion of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam
pengawasan.
Tipe MB
Jenis obat dan dosis untuk orang
dewasa:
1. Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan
petugas.
2. Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan
petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg/hari diminum di
rumah.
3. DDS 100 mg/hari diminum di
rumah.
Pengobatan 24 dosis
diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Sesudah selesai minum 24 dosis
dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan
bakteri positif Menurut WHO ( 1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang
diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan
RFT.
Dosis untuk anak
Klofazimin:
Umur di bawah 10 tahun:
bulanan 100 mg/bulan
harian 50 mg/2
kali/minggu
Umur 11-14 tahun: bulanan 100 mg/bulan
harian 50 mg/3
kali/minggu
DDS:
1-2 mg/kg berat badan
Rifampisin: 10-15 mg/kg berat
badan
Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru.
Menurut WHO ( 1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 (satuj cukup
diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, olloksasin 400 mg, dan minosiklin I
00 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5
lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat
alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24
bulan.
Putus Obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum
obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien
kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang
seharusnya.
Evaluasi
Pengobatan
Evaluasi pengobatan menurut Buku Panduan
Pemberantasan Penyakit Kusta Depkes ( 1999) adalah sebagai
berikut:
1. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6
dosis dalam waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani
pemeriksaan laboratorium.
2. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT
24 dosis dalam waktu 24-36 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani
pemeriksaan laboratorium.
3. RFT dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi
tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium. Dikeluarkan dari register pasien dan
dimasukkan dalam register pengamatan (surveillance) dan dapat dilakukan
oleh petugas kusta.
4. Masa Pengamatan.
Pengamatan setelah RFT
dilakukan secara pasif:
a.
Tipe PB selama 2 tahun.
b. Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan
pemeriksaan laboratorium.
5. Hilang/Out of Control
(OOC).
Pasien PB maupun MB dinyatakan hilang bilamana
dalam 1 tahun tidak mengambil obat dan dikeluarkan dari register
pasien.
6. Relaps (kambuh)
Terjadi bila lesi aktif kembali setelah pernah
dinyatakan sembuh atau RFT.
Indikasi Rujukan
1. Memastikan diagnosis penyakit kusta
2. Neuritis akut dan
subakut
3. Reaksi reversal berat
4. Reaksi ENL berat
5. Komplikasi pada mata
6. Reaksi terhadap
antikusta
7. Tersangka resisten terhadap
antikusta
8. Pasien cacat yang memerlukan rehabilitasi
medik
9. Pasien dengan keadaan tunum buruk atau darurat
10. Pasien kusta yang membutuhkan latihan
fisoterapi
11. Pasien kusta yang membutuhkan terapi okupasi
12. Luka lebar dan dalam pada anggota
gerak
13. Pasien kusta yang membutuhkan tindakan bedah
septik
14. Pasien yang memerlukan
protese
15. Indikasi sosial
Komplikasi
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi
pada pasien kusta baik akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis
sewaktu terjadi reaksi kusta. Proses terjadinya cacat kusta dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !