Penyakit Kusta - FR 123 NT
Headlines News :
Home » » Penyakit Kusta

Penyakit Kusta

Written By Unknown on Senin, 30 Juli 2012 | 01.25

Kusta (lepra atau morbus Hansen) adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M. Ieprae).

Etiologi
M. leprae merupakan basil tahan asam (BTA), bersifat obligat intraselular, menyerang saraf perifer, kulit, dan organ lain seperti mukosa saluran napas bagian atas, hati, dan sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri M. leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari - 40 tahun.
Epidemiologi
Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi menurut sebagian besar ahli melalui saluran pernapasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung yang lama dan erat). Kuman mencapai permukaan kulit melalui folikel rambut, kelenjar keringat, dan didugajuga melalui air susu ibu. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama.

Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu ditakuti. Hal ini bergantung pada beberapa faktor, antara lain sumber penularan, kuman kusta, daya tahan tubuh, sosial ekonomi, dan iklim.

Sumber penularan adalah kuman kusta utuh (solid) yang berasal dari pasien kusta tipe MB (Multi Basiler) yang belum diobati atau tidak teratur berobat.

Bila seseorang terinfeksi M. leprae, sebagian besar (95%) akan sembuh sendiri dan 5% akan menjadi menjadi indeterminate. Dari 5% indeterminate, 30% bermanifestasi klinis menjadi determinate dan 70% sembuh.

Insidens tinggi pada daerah tropis dan subtropis yang panas dan lembab. Insidens penyakit kusta di Indonesia pada Maret 1999 sebesar 1,01 per 10.000 penduduk.

Kusta dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa. Frekuensi tertinggi pada kelompok dewasa ialah umur 25-35 tahun, sedangkan pada kelompok anak umur 10-12 tahun.

Patogenesis
Setelah M leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respons tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas selular (cellular mediated immune) pasien. Kalau sistem imunitas selular tinggi, penyakit berkembang ke arah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang ke arah lepromatosa. M leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.

Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respons imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkatreaksi selular daripada intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.

Manifestasi Klinis
Diagnosis didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopis, dan histopatologis. Menurut WHO (1995). diagnosis kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinal berikut:
1.      Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.
Lesi kulit dapat tunggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul, atau nodul.

Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi,bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot. Penebalan saraf tepi saja tanpa disertai kehilangan sensibilitas dan/atau kelemahan otot juga merupakan tanda kusta.
2.      BTA positif.
Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan kulit.

Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan diperiksa ulang setiap 3 bulan sampai ditegakkan diagnosis kusta atau penyakit lain.

Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan Ridley dan Jopling adalah tipe TT (tuberkuloid), BT (borderline tuberculoid), BB (mid borderline), BL (borderline lepromatous), dan LL (lepromatosa), sedangkan Departemen Kesehatan Ditjen P2MPLP ( 1999) dan WHO ( 1995) membagi tipe menjadi tipe Pause Basiler (PB) dan Multi Basiler (MB).

Pemeriksaan Klinis
a.       Inspeksi. Pasien diminta memejamkan mata, menggerakkan mulut, bersiul, dan tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah. Semua kelainan kulit di seluruh tubuh diperhatikan, seperti adanya makula, nodul, jaringan parut, kulit yang keriput, penebalan kulit, dan kehilangan rambut tubuh (alopesia dan madarosis).
b.      Pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dengan menggunakan kapas (rasa raba), jarum pentul yang tajam dan tumpul (rasa nyeri), serta air panas dan dingin dalam tabung reaksi (rasa suhu).
c.       Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada: n. auricularis magnus, n. ulnaris, n. radialis, n. medianus, n. peroneus, dan n. tibialis posterior. Hasil pemeriksaan yang perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi, penebalan, dan adanya nyeri tekan. Perhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau tidak saat saraf diraba.
d.      Pemeriksaan fungsi saraf otonom, yaitu memeriksa ada tidaknya kekeringan pada lesi akibat tidak berfungsinya kelenjar keringat dengan menggunakan pensil tinta (uji Gunawan).
    
Pemeriksaan Bakteriologis  
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:            
1.      Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.            
2.      Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik, kecuali tidak ditemukan lesi di tempat lain.
3.      Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
4.      Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan M. leprae ialah:                     
a.       Cuping telinga kiri/kanan.                     
b.      Dua sampai empat lesi kulit yang aktif di tempat lain.     
5.      Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:                     
a.       Tidak menyenangkan pasien.                
b.      Positif palsu karena ada mikobakterium lain.                 
c.       Tidak pernah ditemukan M. leprae pada selaput lendir hidung apabila sediaan apus kulit negatif.                        
d.      Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih dahulu negatif daripada sediaan kulit di tempat lain.      
6.      Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:                 
a.       Semua orang yang dicurigai menderita kusta.                
b.      Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta.             
c.       Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman resisten terhadap obat.             
d.      Semua pasien MB setiap satu tahun sekali.       
7.      Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu Ziehl Neelsen atau Kinyoun-Gabett.       
8.      Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode, yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah/seperempat lingkaran (lihat gambar 2). Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented), granular (granulates), globus, dan clumps seperti ditunjukkan pada gambar 3:

Indeks Bakteri (IB)
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalarn sediaan hapus. IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma Ridley sebagai berikut:
0 Bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
+1 Bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
+2 Bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
+3 Bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
+4 Bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
+5 Bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
+6 Bila > 1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

Indeks morfologi (IM)
Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.

Penatalaksanaan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insidens penyakit.

Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalamjaringan.

Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO ( 1995) sebagai berikut:

Tipe PB
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
1.      Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.
2.      DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah.

Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan. dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment = berhenti minum obat kusta) meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.

Tipe MB
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
1.      Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.
2.      Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah.
3.      DDS 100 mg/hari diminum di rumah.

Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif Menurut WHO ( 1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.

Dosis untuk anak
Klofazimin:   Umur di bawah 10 tahun:          bulanan 100 mg/bulan
harian 50 mg/2 kali/minggu
Umur 11-14 tahun:                   bulanan 100 mg/bulan
harian 50 mg/3 kali/minggu
DDS:                                                           1-2 mg/kg berat badan
                                               
Rifampisin:                                                   10-15 mg/kg berat badan


Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO ( 1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 (satuj cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, olloksasin 400 mg, dan minosiklin I 00 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 bulan.

Putus Obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.

Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pengobatan menurut Buku Panduan Pemberantasan Penyakit Kusta Depkes ( 1999) adalah sebagai berikut:
1.      Pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium.
2.      Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 24 dosis dalam waktu 24-36 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium.
3.      RFT dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium. Dikeluarkan dari register pasien dan dimasukkan dalam register pengamatan (surveillance) dan dapat dilakukan oleh petugas kusta.
4.      Masa Pengamatan.
Pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif:
a.       Tipe PB selama 2 tahun.
b.      Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium.
5.      Hilang/Out of Control (OOC).
Pasien PB maupun MB dinyatakan hilang bilamana dalam 1 tahun tidak mengambil obat dan dikeluarkan dari register pasien.
6.      Relaps (kambuh)
Terjadi bila lesi aktif kembali setelah pernah dinyatakan sembuh atau RFT.

Indikasi Rujukan
1.      Memastikan diagnosis penyakit kusta
2.      Neuritis akut dan subakut
3.      Reaksi reversal berat
4.      Reaksi ENL berat
5.      Komplikasi pada mata
6.      Reaksi terhadap antikusta
7.      Tersangka resisten terhadap antikusta
8.      Pasien cacat yang memerlukan rehabilitasi medik
9.      Pasien dengan keadaan tunum buruk atau darurat
10.  Pasien kusta yang membutuhkan latihan fisoterapi
11.  Pasien kusta yang membutuhkan terapi okupasi
12.  Luka lebar dan dalam pada anggota gerak
13.  Pasien kusta yang membutuhkan tindakan bedah septik
14.  Pasien yang memerlukan protese
15.  Indikasi sosial

Komplikasi
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta. Proses terjadinya cacat kusta dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : nofull
Powered by fren
Copyright © 2012. FR 123 NT - All Rights Reserved
Template Design by Callysta Zahrani Published by FR 123 NT