Etiologi
Corynebacterium diphtheriae, bakteri Gram positif yang bersifat polimorf,
tidak bergerak, dan tidak membentuk spora. Terdapat 3 jenis basil, yaitu bentuk
gravis, mitis, dan intermedius. Basil dapat membentuk:
o pseudomembran yang sukar diangkat, mudah
berdarah, dan berwarna putih keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena;
terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik, dan
basil.
o eksotoksin yang sangat ganas dan dapat
meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran
perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal, dan jaringan
saraf. Minimum lethal dose (MLD) toksin ini ialah 0,02
ml.
Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui
apaklah seseorang telah mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03 ml
satuan per militer darah cukup dapat menahan infeksi difteria. Untuk pemeriksaan
ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang
telah diencerkan sebanyak 0,1 ml. Pada seseorang yang tidak mengandung
antitoksin akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah beberapa
minggu. Pada yang mengandung titer antitoksin rendah, uji Schick dapat positif;
pada bekas suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji Schick
dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apa pun pada tempat suntikan dan
ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksiri yang tinggi.
Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang akan
menghilang dalam 72 jam.
Patogenesis
Basil hidup dan berkembang biak pada saluran
napas atas, terlebih-lebih bila terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus,
dll. Basil dapat pula hidup pada vulva, telinga, dan kulit. Pada tempat ini
basil membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin.
Klasifikasi
1. Infeksi ringan: pseudomembran terbatas pada
mukosa hidung atau fasial dengan gejala hanya nyeri
menelan.
2. Infeksi sedang: pseudomembran menyebar lebih
luas sampai ke dinding posterior faring dengan edema ringan laring yang dapat
diatasi dengan pengobatan konservatif.
3. Infeksi berat: disertai gejala sumbatan jalan
napas yang berat, yang hanya dapat diatasi dengan trakeostomi. Juga gejala
komplikasi miokarditis, paralisis, atau pun nefritis dapat
menyertainya.
Manifestasi Klinis
o Difteri hidung: pilek dengan sekret bercampur
darah. Gejala konstitusi ringan.
o Difteri faring dan tonsil (fausial): terdapat
radang akut tenggorok, demam sampai 38,5°C, takikardi, tampak lemah, napas
berbau, timbul pembengkakan kelenjar regional (bull neck). Membran dapat
berwarna putih, abu-abu kotor, atau abu kehijauan dengan tepi yang sedikit
terangkat. Bila membran diangkat akan timbul perdarahan. Tetapi, prosedur ini
dikontraindikasikan karena mempercepat penyerapan toksin.
o Difteri laring: jenis yang terberat, terdapat
afonia, sesak, stridor inspirasi, demam sampai 40°C, sangat lemah, sianosis,
bull neck.
o Difteri kutaneus dan vaginal: lesi ulseratif
dengan pembentukan membran. Lesi persisten dan sering terdapat
anestesi.
Pemeriksaan Penunjang
Dapat terjadi leukositosis ringan.
Diagnosis
Ditegakkan dengan ditemukannya
Corynebacterium diphtheriae pada preparat langsung dengan pewarnaan biru
metilen atau biru toluidin atau biakan dengan media Loėffler.
Diagnosis Banding
Difteria nasal: perdarahan akibat luka dalam
hidung, korpus alienum, atau sifilis
kongenital. Difteria faring dan tonsil (fausial): tonsilitis folikularis atau
lakunaris, angina Plaut Vincent, infeksi mononukleosis infeksiosa, blood
dyscrasia.
Difteria laring: laringitis akut,
laringotrakeitis, laringitis membranosa, benda asing pada
laring.
Penatalaksanaan
Dilakukan bila klinis menyokong ke arah
difteria tanpa menunggu hasil pemeriksaan penunjang. Tata laksana umum dengan
tirah baring, isolasi pasien, pengawasan ketat atas kemungkinan komplikasi,
antara lain pemeriksaan EKG setiap minggu. Pasien dirawat selama 3-4 minggu.
Sedangkan secara khusus.
o Anti-Diphtheria Serum (ADS) diberikan dengan dosis 20.000-100.000 U
bergantung pada lokasi, adanya komplikasi, dan durasi penyakit. Sebelumnya
lakukan uji kulit (pengenceran 1:100) atau mata (pengenceran 1:10). Bila pasien
sensitif, lakukan desensitisasi cara Besredka.
o Antibiotik. Penisilin prokain 50.000
U/kgBB/hari sampai 10 hari. Bila alergi, berikan eritromisin 40 mg/kgBB/hari.
Bila dilakukan trakeostomi, tambahkan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari dalam 4
dosis.
o Kortikosteroid. Digunakan untuk mengurangi
edema laring dan mencegah komplikasi miokarditis. Diberikan prednison 2
mg/kgBB/hari selama 3 minggu yang dihentikan secara bertahap (tapering
off).
o Bila ada komplikasi paresis otot dapat
diberikan striknin ¼ mg dan vitamin B1 100 mg setiap hari, 10 hari
berturut-turut.
Komplikasi
1. Saluran napas: obstruksi jalan napas, bronkopneumonia, atelektasis paru.
2. Kardiovaskular: miokarditis akibat toksin
kuman.
3. Urogenital: nefritis.
4. Susunan saraf: paralisis/paresis palatum mole
(minggu I dan II), otot mata (minggu III), dan umum (setelah minggu
IV).
Pencegahan
1. Isolasi pasien. Isolasi dihentikan bila hasil
pemeriksaan sediaan langsung C. diphtheriae 2 hari berturut-turut
negatif.
2. Imunisasi.
3. Pencarian dan pengobatan karier. Dilakukan
dengan uji Schick. Bila hasil negatif, dilakukan apusan tenggorok. Jika
ditemukan C. diphtheriae, harus diobati.
Prognosis
Prognosis lebih buruk pada pasien dengan usia
yang lebih muda, perjalanan penyakit yang lama, letak lesi yang dalam, gizi
kurang, dan pemberian antitoksin yang terlambat.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !