Etiologi
Virus dengue serotipe 1, 2, 3, dan 4 yang
ditularkan melalui vektor nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes
albopictus, Aedes polynesiensis, dan beberapa spesies lain merupakan vektor
yang kurang berperan. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan
antibodi seumur hidup terhadap serotipe bersangkutan tetapi tidak ada
perlindungan terhadap serotipe lain.
Patofisiologi
Virus hanya dapat hidup dalam sel hidup
sehingga harus bersaing dengan sel manusia terutama dalam kebutuhan protein.
Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan manusia.
.
Sebagai reaksi terhadap infeksi terjadi (1)
aktivasi sistem komplemen sehingga dikeluarkan zat anafilatoksin yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan terjadi perembesan plasma dari
ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular; (2) agregasi trombosit menurun,
apabila kelainan ini berlanjut akan menyebabkan kelainan fungsi trombosit
sebagai akibat mobilisasi sel trombosit muda dari sumsum tulang; dan (3)
kerusakan sel endotel pembuluh darah akan merangsang/mengaktivasi faktor
pembekuan.
Ketiga faktor di atas menyebabkan (1)
peningkatan permeabilitas kapiler; (2) kelainan hemostasis, yang disebabkan oleh
vaskulopati, trombositopenia, dan koagulopati.
Manifestasi
Klinis
Infeksi virus dengue mengakibatkan manifestasi
klinis yang bervariasi mulai dari asimtomatik, penyakit paling ringan (mild
undifferentiated febrile illness), demam dengue, demam berdarah dengue,
sampai sindrom syok dengue. Walaupun secara epidemiologis infeksi ringan lebih
banyak, tetapi pada awal penyakit hampir tidak mungkin membedakan infeksi ringan
atau berat.
Biasanya ditandai dengan demam tinggi,
fenomena perdarahan, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Demam dengue pada
bayi dan anak berupa demam ringan disertai timbulnya ruam makulopapular. Pada
anak besar dan dewasa dikenal sindrom trias dengue berupa demam tinggi mendadak,
nyeri pada anggota badan (kepala, bola mata, punggung, dan sendi), dan timbul
ruam makulopapular. Tanda lain menyerupai demam dengue yaitu anoreksia, muntah, dan nyeri kepala.
Pemeriksaan
Penunjang
Lakukan pemeriksaan hemoglobin, hematokrit,
hitung trombosit, uji serologi HI (Haemagglutination inhibiting antibody),
Dengue Blot.
Trombositopenia ringan sampai nyata bersamaan
dengan hemokonsentrasi adalah gejala yang spesifik. Leukosit normal pada 1-3
hari pertama, menurun saat akan terjadi syok, dan meningkat saat syok
teratasi.
Diagnosis
Dasar diagnosis DBD ( WHO
1997):
Klinis
1. Demam tinggi dengan mendadak dan terus-menerus
selama 2-7 hari
2. Manifestasi perdarahan, termasuk
setidak-tidaknya uji bendung positif dan bentuk lain (petekie, purpura,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi), hematemesis atau
melena.
3. Pembesaran hati
4. Syok yang ditandai oleh nadi lemah, cepat
disertai tekanan nadi menurun (menjadi 20 mmHg atau kurang), tekanan darah
menurun (tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau kurang) disertai kulit
yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari, dan kaki, pasien
menjadi gelisah, timbul sianosis di sekitar mulut.
Laboratorium
Trombositopenia (< 100.000/ul ) dan
hemokonsentrasi (nilai hematokrit lebih 20% dari normal).
Dua gejala klinis pertama ditambah satu gejala
laboratoris cukup untuk menegakkan diagnosis kerja DBD.
Indikator Fase Syok
o
Hari sakit
ke-4-5
o
Suhu
turun
o
Nadi cepat tanpa
demam
o
Tekanan nadi
turun/hipotensi
o
Leukopenia <
5.000/mm3
Derajat (WHO 1997):
I. Demam dengan uji bendung
positif.
II. Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit
atau perdarahan lain.
III. Ditemukannya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi
cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (< 20 mmHg) atau hipotensi disertai
kulit yang dingin, lembab, dan pasien menjadi gelisah.
IV. Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan
tekanan darah tidak dapat diukur.
Diagnosis Banding.
Pada awal penyakit, diagnosis banding mencakup
infeksi bakteri, virus atau protozoa seperti demam tifoid, campak, influenza,
hepatitis, demam chikungunya, leptospirosis, dan malaria. Adanya trombositopenia
yang jelas disertai hemokonsentrasi membedakan DBD dari penyakit lain. Diagnosis
banding lain adalah sepsis, meningitis meningokok, idiophatic trombocytopenic
purpura (ITP), leukemia, dan anemia
aplastik.
Demam chikungunya (DC) sangat menular dan
biasanya seluruh keluarga terkena dengan gejala demam mendadak, masa demam lebih
pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu diikuti dengan ruam makulopapular,
injeksi konjungtiva dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji bendung
positif, petekie, dan epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada DC tidak ditemukan
perdarahan gastrointestinal dan syok.
Pada hari-hari pertama ITP dibedakan dengan
DBD dengan demam yang cepat menghilang dan tidak dijumpai hemokonsentrasi,
sedangkan pada fase penyembuhan jumlah trombosit pada DBD lebih cepat
kembali.
Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia
atau anemia aplastik. Pada leukemia, demam tidak
teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat anemis. Pada anemia aplastik anak sangat anemis dan demam timbul
karena infeksi sekunder.
Penatalaksanaan
Pada dasarnya bersifat suportif yaitu
mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas
kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan
pasien DBD di rawat di ruang perawatan biasa, tetapi pada kasus dengan DBD
dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Fase kritis pada umumnya
terjadi pada hari sakit ketiga.
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul
akibat demam tinggi, anoreksia dan muntah. Pasien
perlu diberi minum banyak, 50 ml/kgBB dalam 4-6 jam pertama berupa air teh
dengan gula, sirup, susu, sari buah, atau oralit. Setelah keadaan dehidrasi
dapat diatasi, berikan cairan rumatan 80-100 ml/kgBB dalam 24 jam berikutnya.
Hiperpireksi diatasi dengan antipiretik dan bila perlu surface cooling
dengan kompres es dan alkohol 70%. Parasetamol direkomendasikan untuk
mengatasi demam dengan dosis 10-15 mg/kg BB/kali.
Pemberian cairan intravena pada pasien DBD
tanpa renjatan dilakukan bila pasien terus menerus muntah sehingga tidak mungkin diberi makanan peroral atau
didapatkan nilai hematokrit yang bertendensi terus meningkat (> 40 vol%).
Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan
elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% dalam 1/3 larutan NaCl 0,9%. Bila
terdapat asidosis, ¼ dari jumlah larutan total dikeluarkan dan diganti dengan
larutan yang berisi 0,167 mol/liter natrium bikarbonat (3/4 bagian berisi
larutan NaCl 0,9% + glukosa ditambah ¼ natrium
bikarbonat).
Apabila terdapat kenaikan hemokonsentrasi 20%
atau lebih maka komposisi jenis cairan yang diberikan harus sama dengan plasma.
Volume dan komposisi cairan yang diperlukan sesuai seperti cairan untuk
dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu
cairan rumatan ditambah defisit 6% (5-8%).
Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan
dengan berat badan ideal untuk anak yang berumur sama.
Jenis Cairan (Rekomendasi
WHO)
o
Kristaloid
- Larutan ringer laktat (RL) atau dekstrosa 5%
dalam larutan ringer laktat (DS/RL)
- Larutan ringer asetat (RA) atau dekstrosa 5%
dalam larutan ringer asetat (DS/RA)
- Larutan NaCl 0,9% (garam faali = GF) atau
dekstrosa 5% dalam larutan garam faali (D5/GF)
o
Koloid
- Dekstran 40
- Plasma
Pasien harus dirawat dan segera diobati bila
dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstremitas dingin,
bibir sianosis, oliguri, dan nadi lemah, tekanan nadi menyempit (20 mmHg atau
kurang) atau hipotensi, dan peningkatan mendadak kadar hematokrit atau kadar
hematokrit yang meningkat terus menerus walaupun telah diberikan cairan
intravena.
Penanganan Syok
Dalam keadaan renjatan berat diberikan cairan
ringer laktat secara cepat (diguyur) selama menit. Apabila syok tidak teratasi
dan/atau keadaan klinis memburuk, ganti cairan dengan koloid 10-20 ml/kgBB/jam,
dengan jumlah maksimal 30 ml/kgBB. Setelah perbaikan, segera cairan ditukar
kembali dengan kristaloid (tetesan 20 ml/kgBB). Bila dengan cairan koloid dan
kristaloid syok belum teratasi sedangkan kadar hematokrit tetap, diduga telah
terjadi perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila
kadar Ht tetap > 40 vol%, berikan darah sebanyak 10 ml/kgBB/jam, tetapi bila
perdarahan masif berikan 20 ml/kgBB. Bila renjatan tidak berat diberikan cairan
dengan kecepatan 20 ml/kgBB/jam.
Bila renjatan sudah diatasi, nadi sudah jelas
teraba, ampitudo nadi cukup besar, tekanan sistolik 80 mmHg atau lebih, maka
kecepatan tetesan dikurangi menjadi 10 ml/kgBB/jam. Kecepatan pemberian cairan
selanjutnya disesuaikan dengan gejala klinik dan nilai hematokrit yang diperiksa
periodik. Evaluasi klinis, nadi, tekanan darah, pernapasan, suhu, dan
pengeluaran urin dilakukan lebih sering.
Perlu dilakukan monitoring,
yaitu:
o
Nadi, tekanan
darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau lebih,
sampai syok teratasi
o
Kadar hematokrit
harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan klinis pasien
stabil
o
Setiap pasien harus
mempunyai formulir pemantauan mengenai jenis cairan, jumlah, dan tetesan, untuk
mengetahui apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi.
o
Diuresis dipantau.
Bila diuresis belum mencukupi 2 ml/kgBB/jam, sedangkan cairan yang diberikan
sudah sesuai kebutuhan, berikan furosemid 1 mg/kgBB. Bila diuresis tetap belum
mencukupi, pada umumnya syok belum teratasi dengan baik, maka pemasangan
central venous pressure (CVP) perlu dilakukan untuk pedoman pemberian
plasma selanjutnya.
Cairan intravena dapat dihentikan bila Ht
telah turun sekitar 40 vol%. Jumlah urin l2 ml/kgBB/jam atau lebih menandakan
keadaan sirkulasi membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi
setelah 48 jam sejak syok teratasi.
Apabila cairan tetap diberikan pada saat
reabsorpsi plasma dari ektravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit
setelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia, dengan
akibat terjadi edema paru dan gagal jantung. Penurunan Ht jangan dianggap
sebagai tanda perdarahan tapi disebabkan hemodilusi. Nadi yang kuat, diuresis
cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase
reabsorpsi.
Pada pasien gelisah, berikan kloralhidrat per
oral atau per rektal dengan dosis 12,5-50 mg/kgBB (tidak melebihi 1 gram).
Terapi dengan oksigen 2 liter per menit harus selalu iberikan pada semua pasien
syok.
Ensefalopati Dengue
Pada ensefalopati cenderung terjadi edema otak
dan alkalosis. Bila syok telah teratasi maka cairan diganti dengan cairan yang
tidak mengandung HCO3- dan jumlah cairan harus egera
dikurangi. Larutan segera ditukar dengan larutan NaCl 0,9% : glukosa 5% = 3:1.
Jntuk mengurangi edema berikan kortikosteroid kecuali terdapat perdarahan
saluran cerna. Bila terdapat disfungsi hati, berikan vitamin K intravena 3-10 mg
selama 3 hari, kadar gula larah diusahakan > 60%, cegah terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial dengan nengurangi jumlah cairan (bila perlu
diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit.
Perawatan jalan napas dengan oksigen yang
adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak berikan neomisin dan laktulosa.
Karena mudah terjadi infeksi sekunder, berikan antibiotik profilaksis (kombinasi
ampisilin 100 mg/kgBB/hari + kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari). Usahakan tidak
memberikan obat-obat yang tidak diperlukan untuk mengurangi beban detoksifikasi
obat dalam hati. Transfusi darah segar atau komponen dapat diberikan atas
indikasi yang tepat. Bila diperlukan transfusi tukar, pada masa penyembuhan
dapat diberikan asam amino rantai pendek.
Kriteria Memulangkan
Pasien
o
Tidak demam selama
24 jam tanpa antipiretik
o
Nafsu makan
membaik
o
Tampak perbaikan
secara klinis
o
Hematokrit
stabil
o
Tiga hari setelah
syok teratasi
o
Jumlah trombosit
> 50.000/μl
o
Tidak dijumpai
distres pernapasan (disebabkan oleh efusi pleura atau
asidosis).
Prognosis
Penyakit ini mengakibatkan syok yang dapat
menyebabkan kematian.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !